Selamat Hari Raya Idul Adha! Ini kali pertamaku lebaran jauh dari keluarga. Meskipun bukan yang pertama menjadi perantau, tapi percayalah setiap hari raya baik itu Idul Fitri maupun Idul Adha pasti kuhabiskan dengan keluarga. Sedih? Iya. Tapi aku percaya Allah selalu punya skenarionya sendiri.
Bicara tentang kesendirian, aku memang sendiri di sini, ribuan kilo antara Depok dan Kuala Lumpur. Untuk memutuskan Idul Adha di KBRI pun aku harus segera pergi selepas Subuh sendirian. Kenapa sendirian? Ga banyak teman Indonesiaku di sini, kalaupun ada non-muslim, kalaupun muslim ya… Tidak tertarik sholat (?)
Aku rindu suasana berlebaran di Indonesia. Ternyata aku terlalu cinta dengan negaraku, yang sebelumnya banyak sekali hal-hal kecil kuanggap sepele dan sering kukesampingkan.
Sejujurnya, rute dari tempat tinggalku ke KBRI melelahkan. Aku harus jalan kaki dulu ke stasiun LRT KL Gateway, naik LRT sampai daerah kantorku di KL Sentral untuk ganti menjadi MRT. Lalu aku harus turun di daerah Tun Razak, dari sana aku harus jalan sekitar 500m ke KBRI. Demi merasakan sholat Idul Adha bersuasanakan Indonesia, aku harus menempuh kira-kira satu jam perjalanan dan rela mengubur rasa kantuk di pagi hari. Lagi-lagi aku harus mengingat hidupku selalu penuh perjuangan kok :’) Karenanya, hingga detik ini aku percaya bahwa sulit mendapatkan hal instan di dunia ini.
“Kok ga naik grab aja?” Jujur itu hal pertama yang terlintas setelah tahu KBRI itu jauh. Tapi percayalah, lagi-lagi hidup tidak semudah itu. Daerah Embassy itu selalu jam alias macet, di samping tarif yang mahal ke sana, niscaya mencari taksi yang mau ke sana itu ibarat menemukan air di tengah sahara. Ini bukannya berlebihan, tapi memang begitu kenyataannya :’)

Allah menguji cinta Nabi Ibrahim kepada Allah SWT melalui berbagai hal. Di mana pada waktu itu Nabi Ibrahim diperintahkan untuk membawa Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi ke lembah tandus yang gersang dan tidak ditumbuhi tanaman sehelai pun. Nabi Ibrahim pun diharuskan untuk meninggalkan Istri dan anaknya di sana. Seperti banyak yang diketahui dari kisah yang ada, Siti Hajar yang ditinggal oleh Nabi Ibrahim karena perintah Allah harus bolak-balik dari Bukit Sofa ke Marwah sebanyak 7x demi mencari air untuk Ismail. Dengan kuasa Allah, muncullah air zam-zam, di mana airnya selalu mengalir tidak pernah habis dan lembah tersebut menjadi Makkah yang sekarang dikenal oleh kita semua. Peristiwa yang dialami oleh Siti Hajar pun disebut dengan “Sa’i”, di mana ketika ingin melaksanakan ibadah haji/umroh kita akan melakukan lari-lari kecil antara kedua bukit (Sofa dan Marwah).
Tidak berhenti sampai di situ, Nabi Ibrahim lagi-lagi diuji kesabarannya ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Apa yang bisa diperbuat sama Nabi Ibrahim? Menaati perintah Allah.
Pernah terbayang ga gimana rasanya harus merelakan keluarga? Lebih dari itu, beliau diminta menyembelih anaknya sendiri yang sangat dicintainya dan sulit didapatkan oleh Siti Hajar. Di sini Allah sejatinya sedang menguji apakah Nabi Ibrahim lebih mencintai makhluk-Nya atau pencipta dari makhluk tersebut? Ketika dengan berat hati, sebelum akhirnya pedang menyentuh leher Ismail, saat itu pula Allah langsung menukar dengan seekor domba. Semenjak itulah sebagai muslim yang baik kita perlu mengimani sejarah ini dan turut merayakannya dalam Idul Adha.
Idul Adha tidak pernah punya makna sedalam tahun ini untukku. Sebelumnya cerita di atas selalu sudah khatam di luar kepala sejak aku kecil—di mana aku besar di sekolah Islam yang selalu menyiramiku dengan kisah-kisah kenabian. Tapi percayalah, selama ini tidak pernah aku benar-benar merasa perlu memaknai sedalam tahun ini. Aku jauh dari keluargaku. Saat ini pun keimananku sedang diuji. Ketika aku merasa sendiri, sejatinya Allah tidak pernah sejengkal pun meninggalkanku. Aku mungkin merasa telah mengorbankan banyak hal di hidupku, tapi sesungguhnya tidaklah sebesar Nabi Ibrahim pada masa itu. Lalu aku merasa malu dengan diri sendiri.
Idul Adha di sini tidak semeriah di tempatku, di daerah rumahku. Di sini, aku memang merasakan nuansa Indonesia, sampai KBRI semua orang bahkan satpam pun berbahasa Indonesia. Karena perjalanan yang cukup jauh, aku harus rela aula utama sudah penuh sesak. Aku mendapatkan tempat untuk sholat di lorong-lorong yang dipisahkan antara wanita dan laki-laki.

Sejujurnya, aku selalu merasa sholat berjamaah itu indah. Kenapa? Setelah kita semua berkumpul di satu tempat, semua orang sama. Tidak ada yang terlihat berlabel, dari berbagai lapisan, sama seperti apa yang Allah serukan bahwa semua sama kedudukannya di mata-Nya. Pagiku pun begitu. Aku sholat bersama dengan beberapa TKW yang sudah lama tidak pulang ke Indonesia, ada pelajar, pekerja, istri yang ikut suaminya di Malaysia, semuanya sama, berkumpul dengan tujuan sama-sama ingin merayakan Hari Raya Qurban ini jauh dari “rumah”.
Tidak pernah serindu ini mendengarkan ceramah dengan bahasa sendiri. Setelah selama bulan Ramadhan masjid yang kudatangi kalau tidak berbahasa Melayu, ya dengan Inggris, aku kembali mendengarkan ceramah dengan bahasa ibuku. Aku sempat melupa kalau bukanlah hidupku yang paling penuh perjuangan dan terasa menyedihkan, jauh di negaraku aku kembali diingatkan di tengah-tengah ceramah bahwa kami di Kuala Lumpur perlu banyak-banyak bersyukur masih bisa diberikan kesehatan dan kekuatan menjalani ibadah dengan nyaman dan aman. Pasalnya, ratusan gempa sudah dialami dalam periode waktu beberapa minggu kebelakangan ini di Lombok. Pemberitaan di media pun marak menggambarkan situasi di sana ketika Idul Adha seperti apa. Innalillahi 😦

Anyway, kukira bisa ketemu ketupat di KBRI.. Tapi ya, ayam bakar Mas Mono ini cukup menghiburlah rasanya dan sambelnya juara! Alhamdulillah disponsori oleh KBRI!



Aku perlu banyak belajar bersyukur dan semakin mengimani kuasa Allah SWT. Semoga Idul Adha ini tidak hanya memberikan makna untukku, tapi untuk kamu sekalian di luar sana yang merayakan.
Selamat Idul Adha.
Mohon maaf lahir dan batin 🙂
One thought on “Selamat Idul Adha dari Kuala Lumpur!”